Rabu, 15 Januari 2014

PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGATASI KORUPSI


PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGATASI KORUPSI

“Education is the most powerful weapon that you can use to change the world.” Pendidikan, bagi seorang Nelson Mandela, adalah senjata yang sangat ampuh untuk dapat mengubah dunia.  Kalimat ‘sakti’ pejuang antidiskriminasi ini ternyata tidak hanya diamini oleh kaum sebangsanya, namun juga bangsa-bangsa lain di dunia.  Pendidikan adalah ujung tombak perubahan sebuah bangsa, bahkan dunia.
Indonesia, dengan kasus korupsi yang merajalela, juga tengah menempatkan pendidikan sebagai solusi permasalahan bangsa.  Pendidikan, utamanya pendidikan karakter, dihadirkan atas dasar kegalauan melihat realitas kehidupan yang terindikasi mengalami degradasi moral, termasuk mental korup yang membudaya di masyarakat.  Perang melawan korupsi melalui pendidikan memang bukan satu-satunya cara pencegahan korupsi di Indonesia.  Namun kesadaran kolektif masyarakat disadari perlu ditumbuhkan sejak dini.
Mulai Juni 2011, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan Pendidikan Karakt Antikorupsi dalam kurikulum prasekolah, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, dan perguruan tinggi.  ’Perang’ wacana pun terjadi di kalangan praktisi pendidikan.  Beberapa pihak menilai bahwa ide pendidikan antikorupsi ini nantinya hanya akan menjadi ’gincu’ kurikulum belaka.  Nilai-nilai agama, moral, dan karakter antikorupsi hanya menjadi sebuah transformasi konseptual yang tidak membumi.  Pendidikan karakter pun nantinya akan bernasib sama dengan pengajaran nilai moral dan agama yang selama ini hanya berkutat pada teori dan hadir dalam simbol jasmaniah yang jauh dari pengamalan nyata.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah  :  apakah Pendidikan Karakter Antikorupsi benar-benar sebuah pilihan solusi yang tepat?

Kurikulum Terintegrasi
Bukan suatu hal yang salah jika pemerintah menetapkan lembaga pendidikan sebagai ’bengkel’ perbaikan moralitas bangsa.  Lembaga pendidikan adalah pilihan tepat sebagai garda terdepan pembentukan karakter bangsa.  Namun menempatkan Pendidikan Karakter Antikorupsi sebagai mata pelajaran tersendiri adalah keputusan yang tidak bijak.  Pendidikan karakter harus terintegrasi dengan kurikulum yang sudah ada agar tidak menambah beban belajar siswa.
Dalam aplikasinya, tidak perlu ada materi khusus pembelajaran antikorupsi dalam kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi.  Pendidikan Karakter Antikorupsi dapat diberikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler (seperti pramuka, klub debat, atau gerakan mahasiswa antikorupsi) dan melalui penanaman nilai-nilai pembelajaran atas antikorupsi secara terintegrasi dalam mata pelajaran yang sudah ada.  Siswa diharapkan tidak akan terjebak dalam ’rutinitas’ pencapaian nilai A dalam mata pelajaran pendidikan karakter.  Pendidikan Karakter Antikorupsi lebih menekankan upaya pembentukan character building dan moral antikorupsi dibanding transmisi pengetahuan dan seluk beluk teori antikorupsi kepada peserta didik.
Agaknya Indonesia perlu mencontoh Jepang dalam penerapan pendidikan karakter.  Di negeri yang kini tengah berduka oleh bencana tsunami, pendidikan karakter diajarkan dalam pelajaran “seikatsuka” atau pendidikan tentang kehidupan sehari-hari.  Siswa SD diajari tatacara menyeberang jalan, adab di dalam kereta, yang tidak saja berupa teori, tetapi guru juga mengajak mereka untuk bersama naik kereta dan mempraktikkannya.  Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha, tetapi menariknya agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran wajib, seperti halnya di Indonesia.  Nilai-nilai agama diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.  Karenanya, pendidikan moral di sekolah Jepang tidak diajarkan sebagai mata pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan dalam semua mata pelajaran.  (Murni Ramli : 2008)
Budaya malu pada masyarakat pun dicontohkan oleh para pemimpin Jepang sebagai upaya mendidik warganya mewujudkan kultur antikorupsi.  Para pemimpin Jepang berani mundur dari jabatannya ketika tersandung kasus korupsi.  Perilaku birokrat negeri sakura ini merupakan pembelajaran yang sungguh mulia dan elegan guna mendukung terwujudnya kultur antikorupsi secara jitu.

Verba movent exempla trahunt
Kata-kata itu menggerakkan, namun teladan lebih memikat hati.  Pepatah lama ini ditulis oleh Doni Koesoema A. dalam bukunya yang berjudul “Pendidik Karakter di Zaman Keblinger“ (2009).  Praktisi pendidikan karakter ini menyebut bahwa siswa yang dulu menghargai nilai-nilai kini telah bergeser.  Fenomena budaya instan yang semua ingin serba praktis menggeser tatanan yang selama ini mampu membentuk karakter.
Saat yang sangat penting untuk pembentukan karakter ada dalam lingkungan keluarga.  Karakter seseorang terbentuk melalui pembiasaan dan latihan yang dilakukan secara terus-menerus.  Perubahan yang ada tidak bisa dilihat secara kasat mata karena proses pembentukan karakter terjadi secara laten, berlanjut sepanjang hayat.  Pendidikan karakter sejatinya mampu terwujud ketika seorang anak dan keluarga di dalamnya berjuang bersama untuk menghayati visi dan mengaktualisasikan nilai-nilai antikorupsi secara berjama’ah di dalam masyarakat.
Pendidikan Karakter Antikorupsi yang ditawarkan oleh Kemendiknas dan KPK memang tidak menawarkan sebuah ‘keajaiban‘ yang mampu menjamin semua manusia Indonesia bebas korupsi.    Keteladanan masih menjadi poin penting dalam keberhasilan implementasi Pendidikan Karakter Antikorupsi di Indonesia.  Semua modul pelajaran sekolah yang terintegrasi dengan Pendidikan Karakter Antikorupsi tidak akan memberikan hasil apapun sepanjang keteladanan masih menjadi barang langka di masyarakat.    Lalu, dimana seorang siswa bisa menemukan sebuah keteladanan dengan mudah?  Everything begins from home

Tidak ada komentar:

Posting Komentar