ETIKA
PROFESI DAN KODE ETIK WARTAWAN
Wartawan adalah profesi
yang cukup "disegani" terutama oleh kalangan politis dan selebritis
hehe. Tanpa wartawan, mereka tak akan pernah jadi terkenal. Walaupun kadang
profesi ini jadi terkesan "dihindari" oleh mereka, karena kadang juga
ada wartawan yang sedikit "lebay" dalam mencari atau mendapatkan
berita sehingga menyentuh batas privacy mereka dengan mengandalkan
"kebebasan pers". Jurnalisme adalah salah satu profesi yang
memberikan layanan kepada publik.Secara singkat tugas dan kewajiban
wartawan adalah menyampaikan serta meneruskan informasi atau kebenaran kepada
publik tentang apa saja yang perlu diketahui publik.
Kode Etik Jurnalistik adalah
acuan moral yang mengatur tindak-tanduk seorang wartawan. Kode Etik Jurnalistik bisa berbeda dari satu organisasi
ke organisasi lain, dari satu koran ke koran lain, namun secara umum dia berisi
hal-hal berikut yang bisa menjamin terpenuhinya tanggung-jawab seorang wartawan
kepada publik pembacanya. Kode Etik Jurnalistik adalah etika profesi
wartawan. Wartawan yang tidak menaati kode etik disebut wartawan tidak
profesional, bahkan boleh disebut wartawan gadungan alias wartawan palsu. wartawan adalah
sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti
halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara yang punya kode etik. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika
memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr.
Lakshamana Rao:
1. Harus terdapat kebebasan dalam
pekerjaan tadi.
2. Harus ada panggilan dan keterikatan dengan
pekerjaan itu.
3. Harus ada keahlian (expertise).
4. Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode
etik pekerjaan. (Assegaf, 1987).
Menurut saya, wartawan
(Indonesia) sudah memenuhi keempat kriteria profesioal tersebut.
1. Wartawan memiliki kebebasan yang disebut
kebebasan pers, yakni kebebasan mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan
gagasan dan informasi. UU No. 40/1999 tentang Pers menyebutkan, kemerdekaan
pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, bahkan pers nasional tidak
dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran (Pasal 4 ayat 1
dan 2). Pihak yang mencoba menghalangi kemerdekaan pers dapat dipidana penjara
maksimal dua tahun atau dena maksimal Rp 500 juta (Pasal 18 ayat 1).Meskipun
demikian, kebebasan di sini dibatasi dengan kewajiban menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah (Pasal 5
ayat 1).Memang, sebagai tambahan, pada prakteknya, kebebasan pers sebagaimana
dipelopori para penggagas Libertarian Press pada akhirnya
lebih banyak dinikmati oleh pemilik modal atauowner media massa.
Akibatnya, para jurnalis dan penulisnya harus tunduk pada kepentingan pemilik
atau setidaknya pada visi, misi, dan rubrikasi media tersebut. Sebuah koran di
Bandung bahkan sering “mengebiri” kreativitas wartawannya sendiri selain mem-black
list sejumlah penulis yang tidak disukainya.
2. Jam kerja wartawan adalah 24 jam sehari karena
peristiwa yang harus diliputnya sering tidak terduga dan bisa terjadi kapan
saja. Sebagai seorang profesional, wartawan harus terjun ke lapangan
meliputnya. Itulah panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan
sebagai wartawan. Bahkan, wartawan kadang-kadang harus bekerja dalam keadaan
bahaya. Mereka ingin –dan harus begitu– menjadi orang pertama dalam mendapatkan
berita dan mengenali para pemimpin dan orang-orang ternama.
3. Wartawan memiliki keahlian tertentu, yakni
keahlian mencari, meliput, dan menulis berita, termasuk keahlian dalam
berbahasa tulisan dan Bahasa Jurnalistik.
4. Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik (Pasal 7 ayat (2) UU No. 40/1999 tentang Pers). Dalam
penjelasan disebutkan, yang dimaksud dengan Kode Etik Jurnalistik adalah Kode
Etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.
Kode Etik Jurnalistik PWI
KEJ pertama kali dikeluarkan dikeluarkan PWI (Persatuan Wartawan
Indonesia). KEJ itu antara lain menetapkan.
1. Berita diperoleh dengan cara yang jujur.
2. Meneliti kebenaran suatu berita atau keterangan
sebelum menyiarkan (check and recheck).
3. Sebisanya membedakan antara kejadian (fact)
dan pendapat (opinion).
4. Menghargai dan melindungi kedudukan sumber
berita yang tidak mau disebut namanya. Dalam hal ini, seorang wartawan tidak
boleh memberi tahu di mana ia mendapat beritanya jika orang yang memberikannya
memintanya untuk merahasiakannya.
5. Tidak memberitakan keterangan yang diberikan
secara off the record (for your eyes only).
6. Dengan jujur menyebut sumbernya dalam mengutip
berita atau tulisan dari suatu suratkabar atau penerbitan, untuk kesetiakawanan
profesi.
Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI)
Ketika Indonesia memasuki era reformasi dengan berakhirnya rezim
Orde Baru, organisasi wartawan yang tadinya “tunggal”, yakni hanya PWI, menjadi
banyak. Maka, KEJ pun hanya “berlaku” bagi wartawan yang menjadi anggota PWI. Namun
demikian, organisasi wartawan yang muncul selain PWI pun memandang penting
adanya Kode Etik Wartawan. Pada 6 Agustus 1999, sebanyak 24 dari 26 organisasi
wartawan berkumpul di Bandung dan menandatangani Kode Etik Wartawan
Indonesia (KEWI). Sebagian besar isinya mirip dengan KEJ PWI. KEWI berintikan
tujuh hal sebagai berikut:
1. Wartawan Indonesia menghormati hak masyarakat
untuk memperoleh informasi yang benar.
2. Wartawan Indonesia menempuh tatacara yang etis
untuk memperoleh dan menyiarkan informasi serta memberikan identitas kepada
sumber informasi.
3. Wartawan Indonesia menghormati asas praduga tak
bersalah, tidak mencampurkan fakta dengan opini, berimbang, dan selalu meneliti
kebenaran informasi serta tidak melakukan plagiat.
4. Wartawan Indonesia tidak menyiarkan informasi
yang bersifat dusta, fitnah, sadis, cabul, serta tidak menyebutkan identitas
korban kejahatan susila.
5. Wartawan Indonesia tidak menerima suap dan tidak
menyalahgunakan profesi.
6. Wartawan Indonesia memiliki Hak Tolak,
menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan off the
record sesuai kesepakatan.
7. Wartawan Indonesia segera mencabut dan meralat
kekeliruan dalam pemberitaan serta melayani Hak Jawab.
KEWI kemudian ditetapkan sebagai Kode Etik yang berlaku bagi
seluruh wartawan Indonesia. Penetapan dilakukan Dewan Pers sebagaimana
diamanatkan UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers melalui SK Dewan Pers No.
1/SK-DP/2000 tanggal 20 Juni 2000.
Penetapan Kode Etik itu guna menjamin tegaknya kebebasan pers
serta terpenuhinya hak-hak masyarakat. Kode Etik harus menjadi landasan moral
atau etika profesi yang bisa menjadi pedoman operasional dalam menegakkan
integritas dan profesionalitas wartawan. Pengawasan dan penetapan sanksi atas
pelanggaran kode etik tersebut sepenuhnya diserahkan kepada jajaran pers dan
dilaksanakan oleh organisasi yang dibentuk untuk itu.
KEWI harus mendapat perhatian penuh dari semua wartawan. Hal itu
jika memang benar-benar ingin menegakkan citra dan posisi wartawan sebagai
“kaum profesional”. Paling tidak, KEWI itu diawasi secara internal oleh pemilik
atau manajemen redaksi masing-masing media massa. (www.romeltea.com).*
Kode Etik Jurnalistik
seringkali hanya bersifat umum. Itu sebabnya seringkali masih menyisakan
sejumlah pertanyaan, misalnya: apakah etis memata-matai kehidupan publik
seorang tokoh, atau bolehkah menjadi anggota partai politik tertentu? Di sini, biasanya seorang wartawan memiliki Kode Etik
Pribadi (Personal Code).
Kebanyakan kita bisa
dengan membedakan yang benar dari yang salah. Kepekaan moral kita dipengaruhi
oleh orangtua, sekolah dan keyakinan agama. Banyak panduan kode kita datang
dari bacaan atau teman-teman di sekeliling kita. Kendati loyalitas pada teman
merupakan sikap yang dihargai, wartawan harus menjawab tuntutan lebih besar
dalam loyalitasnya, dan itu adalah loyalitas pada masyarakat. Wartawan bisa menggunakan tanggungjawab sosialnya sebagai basis
untuk membentuk Kode Etik Pribadi. Tanggung-Jawab. Kewartawananan, sekali
lagi, adalah sebuah jasa publik. Para wartawan semestinya bebas dari ikatan
komitmen atau kewajiban terhadap kelompok tertentu. Wartawan harus meletakkan
''tanggung-jawab kepada publik'' di atas kepentingan diri sendiri serta di atas
loyalitasnya kepada kepada perusahaan tempat dia bekerja, kepada suatu partai
politik, atau kepada kelompok dan teman-teman terdekatnya. Independensi. Meneruskan informasi adalah tugas
wartawan. Jika sumber berita atau teman meminta dia untuk merahasiakan
informasi, si wartawan harus menimbang permintaan itu dalam konteks komitmennya
untuk memberikan informasi kepada publik. Jika atasan atau perusahaan tempatnya
bekerja membunuh seluruh atau sebagian dari berita yang ditulisnya dengan
alasan bisa merusak dari sisi bisnis, memburukkan pemasang iklan atau teman
dari pemilik koran, si wartawan harus mengkonfrontasikan situasi tadi dari
perspektif moral yang sama kewajiban untuk melaporkan kebenaran. Dalam dua kasus itu, tindakan yang
harus diambil oleh wartawan adalah jelas: puas melihat bahwa
informasi/kebenaran mencapai pembacanya. Pemerintah seringkali ingin
merahasiakan sesuatu karena alasan ''kepentingan nasional''. Dalam hal itu
seorang wartawan berhadapan dengan sebuah dilema. Dalam sebuah masyarakat
demokratis, publik berhak tahu apa yang dilakukan pemerintah. Pada saat yang
sama, mengungkapkan sesuatu informasi bisa membahayakan keamanan, termasuk
keamanan publik. Ini juga pada akhirnya terpulang pada Kode Etik Pribadi yang
intinya wartawan harus melayani publik dengan memberi imbangan kepada
kekuasaan, termasuk kekuasaan pemerintah.
Rindu pada Kebenaran. Setiap wartawan paham
bahwa mereka harus bisa dipercaya. Tapi apakah kebenaran itu? Pertama-tama: apa
yang dilaporkan harus merupakan hasil reportase yang akurat, misalnya bahwa apa
yang dikatakan seorang sumber dalam interview adalah memang benar-benar seperti
dikatakannya. Namun, wartawan yang rindu pada kebenaran tak puas hanya dengan
itu. Dia menuntut diri untuk bisa menggali kebenaran, menyingkap lapisan-lapisan
kejadian yang bisa menghalangi penglihatan publik pada kebenaran. Untuk itu
wartawan harus memiliki sikap tega terhadap orang atau tindakan yang merugikan
masyarakat. Wartawan prihatin dengan para korban tindakan tak fair, ilegal
serta diskriminatif. Mereka melihat tindakan seperti itu sebagai pencemar dalam
masyarakat. Untuk menyingkap kebenaran wartawan seringkali melakukan
investigative reporting. Kadang dengan cara menyamar. Menyamar bukanlah
tindakan yang etis, namun dibenarkan untuk situasi tertentu.
Dalam situasi kritis, wartawan boleh menggunakan taktik atau
teknik yang dalam situasi lain tidak etis. Namun, taktik seperti itu harus
diberitahukan kepada pembaca. Kebenaran hakiki barangkali tak pernah bisa
ditemukan di dunia ini, namun seorang wartawan harus berusaha keras untuk
mencapainya. Untuk itu ada sejumlah hal yang bisa
menjadi Kode Etik Pribadi pula:
1. Kesediaan
untuk mengakui kesalahan.
2. Berusaha
keras mengikuti fakta, meski fakta itu bergerak ke arah yang tidak disukai atau
tidak disetujuinya.
3. Komitmen
untuk senantiasa memperbaiki diri (belajar dan berusaha keras) sebagai wartawan
sehingga bisa lebih baik melayani mereka yang berharap bahwa si wartawan adalah
mata dan telinga mereka.
4. Melawan
godaan akan pujian, uang, popularitas dan kekuasaan jika itu semua berdiri di
depan perjalanan menuju kebenaran.
5. Tekad
untuk membuat masyarakat menjadi tempat yang baik untuk semua anggotanya,
terutama orang-orang muda di sekolah, mereka yang sakit, mereka yang miskin
tanpa pekerjaan, mereka yang jompo tanpa harapan dan mereka yang menjadi korban
diskriminasi.
Inti dari Kode Etik Pribadi adalah bahwa hanya masing-masing
wartawan lah yang tahu apakah dia telah berusaha dengan keras dan memberikan
yang terbaik atau tidak. Kode Etik, baik yang bersifat organisasi maupun
pribadi, adalah acuan moral. Seorang wartawan tidak bisa dihukum jika
melanggarnya, namun dia bisa dikenai sanksi moral dari lingkungannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar