PENDIDIKAN KARAKTER UNTUK MENGATASI KORUPSI
“Education
is the most powerful weapon that you can use to change the world.” Pendidikan, bagi seorang Nelson Mandela,
adalah senjata yang sangat ampuh untuk dapat mengubah dunia. Kalimat
‘sakti’ pejuang antidiskriminasi ini ternyata tidak hanya diamini oleh kaum
sebangsanya, namun juga bangsa-bangsa lain di dunia. Pendidikan adalah
ujung tombak perubahan sebuah bangsa, bahkan dunia.
Indonesia, dengan kasus korupsi yang merajalela, juga tengah
menempatkan pendidikan sebagai solusi permasalahan bangsa. Pendidikan,
utamanya pendidikan karakter, dihadirkan atas dasar kegalauan melihat realitas
kehidupan yang terindikasi mengalami degradasi moral, termasuk mental korup
yang membudaya di masyarakat. Perang melawan korupsi melalui pendidikan
memang bukan satu-satunya cara pencegahan korupsi di Indonesia. Namun
kesadaran kolektif masyarakat disadari perlu ditumbuhkan sejak dini.
Mulai Juni 2011, Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas)
dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerapkan Pendidikan Karakt Antikorupsi
dalam kurikulum prasekolah, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK, dan perguruan
tinggi. ’Perang’ wacana pun terjadi di kalangan praktisi
pendidikan. Beberapa pihak menilai bahwa ide pendidikan antikorupsi ini
nantinya hanya akan menjadi ’gincu’ kurikulum belaka. Nilai-nilai agama,
moral, dan karakter antikorupsi hanya menjadi sebuah transformasi konseptual
yang tidak membumi. Pendidikan karakter pun nantinya akan bernasib sama
dengan pengajaran nilai moral dan agama yang selama ini hanya berkutat pada
teori dan hadir dalam simbol jasmaniah yang jauh dari pengamalan nyata.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah : apakah
Pendidikan Karakter Antikorupsi benar-benar sebuah pilihan solusi yang tepat?
Kurikulum Terintegrasi
Bukan suatu hal yang salah jika pemerintah menetapkan lembaga
pendidikan sebagai ’bengkel’ perbaikan moralitas bangsa. Lembaga
pendidikan adalah pilihan tepat sebagai garda terdepan pembentukan karakter
bangsa. Namun menempatkan Pendidikan Karakter Antikorupsi sebagai mata
pelajaran tersendiri adalah keputusan yang tidak bijak. Pendidikan
karakter harus terintegrasi dengan kurikulum yang sudah ada agar tidak menambah
beban belajar siswa.
Dalam aplikasinya, tidak perlu ada materi khusus pembelajaran
antikorupsi dalam kurikulum di sekolah dan perguruan tinggi. Pendidikan
Karakter Antikorupsi dapat diberikan sebagai kegiatan ekstrakurikuler (seperti
pramuka, klub debat, atau gerakan mahasiswa antikorupsi) dan melalui penanaman
nilai-nilai pembelajaran atas antikorupsi secara terintegrasi dalam mata
pelajaran yang sudah ada. Siswa diharapkan tidak akan terjebak dalam
’rutinitas’ pencapaian nilai A dalam mata pelajaran pendidikan karakter.
Pendidikan Karakter Antikorupsi lebih menekankan upaya pembentukan character
building dan moral antikorupsi dibanding transmisi pengetahuan dan
seluk beluk teori antikorupsi kepada peserta didik.
Agaknya Indonesia perlu mencontoh Jepang dalam penerapan
pendidikan karakter. Di negeri yang kini tengah berduka oleh bencana
tsunami, pendidikan karakter diajarkan dalam pelajaran “seikatsuka” atau
pendidikan tentang kehidupan sehari-hari. Siswa SD diajari tatacara
menyeberang jalan, adab di dalam kereta, yang tidak saja berupa teori, tetapi
guru juga mengajak mereka untuk bersama naik kereta dan mempraktikkannya.
Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan Budha,
tetapi menariknya agama ini tidak diajarkan di sekolah dalam bentuk pelajaran
wajib, seperti halnya di Indonesia. Nilai-nilai agama diwujudkan dalam
kehidupan sehari-hari di sekolah. Karenanya, pendidikan moral di sekolah
Jepang tidak diajarkan sebagai mata pelajaran khusus, tetapi diintegrasikan
dalam semua mata pelajaran. (Murni Ramli : 2008)
Budaya malu pada masyarakat pun dicontohkan oleh para pemimpin
Jepang sebagai upaya mendidik warganya mewujudkan kultur antikorupsi.
Para pemimpin Jepang berani mundur dari jabatannya ketika tersandung kasus
korupsi. Perilaku birokrat negeri sakura ini merupakan pembelajaran yang
sungguh mulia dan elegan guna mendukung terwujudnya kultur antikorupsi secara
jitu.
Verba
movent exempla trahunt
Kata-kata itu menggerakkan, namun teladan lebih memikat
hati. Pepatah lama ini ditulis oleh Doni Koesoema A. dalam bukunya yang
berjudul “Pendidik Karakter di Zaman Keblinger“ (2009). Praktisi
pendidikan karakter ini menyebut bahwa siswa yang dulu menghargai nilai-nilai
kini telah bergeser. Fenomena budaya instan yang semua ingin serba
praktis menggeser tatanan yang selama ini mampu membentuk karakter.
Saat yang sangat penting untuk pembentukan karakter ada dalam
lingkungan keluarga. Karakter seseorang terbentuk melalui pembiasaan dan
latihan yang dilakukan secara terus-menerus. Perubahan yang ada tidak
bisa dilihat secara kasat mata karena proses pembentukan karakter terjadi
secara laten, berlanjut sepanjang hayat. Pendidikan karakter sejatinya
mampu terwujud ketika seorang anak dan keluarga di dalamnya berjuang bersama
untuk menghayati visi dan mengaktualisasikan nilai-nilai antikorupsi secara
berjama’ah di dalam masyarakat.
Pendidikan Karakter Antikorupsi yang ditawarkan oleh Kemendiknas
dan KPK memang tidak menawarkan sebuah ‘keajaiban‘ yang mampu menjamin semua
manusia Indonesia bebas korupsi. Keteladanan masih menjadi
poin penting dalam keberhasilan implementasi Pendidikan Karakter Antikorupsi di
Indonesia. Semua modul pelajaran sekolah yang terintegrasi dengan
Pendidikan Karakter Antikorupsi tidak akan memberikan hasil apapun sepanjang
keteladanan masih menjadi barang langka di masyarakat. Lalu,
dimana seorang siswa bisa menemukan sebuah keteladanan dengan
mudah? Everything begins from home!