Pertambangan
Memiliki Dampak Bagi Lingkungan
Indonesia merupakan
negara yang kaya sumber daya alam, salah satunya hasil tambang (batubara,
minyak bumi, gas alam, timah). Di era globalisasi ini, setiap negara membangun
perekonomiannya melalui kegiatan industri dengan mengolah sumber daya alam yang
ada di negaranya. Hal ini dilakukan agar dapat bersaing dengan negara lain dan
memajukan perekonomiannya. Oleh karena itu, banyak perusahaan dari sektor
privat maupun sektor swasta yang mengolah hasil tambang untuk diproduksi.
Munculnya
industri-industri pertambangan di Indonesia mempunyai dampak positif dan dampak
negatif bagi masyarakat dan negara. Dampak positif adanya industri pertambangan
antara lain menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, hasil produksi
tambang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun pasar
internasional, sehingga hasil ekspor tambang tersebut dapat meningkatkan
pendapatan dan pertumbuhan ekonomi negara. Industri pertambangan juga dapat
menarik investasi asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Namun, terdapat masalah
yang harus diperhatikan oleh pemerintah, yaitu masalah penambangan ilegal.
Penambangan ilegal dilakukan tanpa izin, prosedur operasional, dan aturan dari
pemerintah. Hal ini membuat kerugian bagi negara karena mengeksploitasi sumber
daya alam secara ilegal, mendistribusikan, dan menjual hasil tambangnya secara
ilegal, sehingga terhindar dari pajak negara. Oleh karena itu, pemerintah harus
menerapkan aturan yang tegas terhadap para pihak yang melakukan penambangan
ilegal.
Kemudian, di sisi lain,
industri pertambangan juga mempunyai dampak negatif, yaitu kerusakan
lingkungan. Wilayah yang menjadi area pertambangan akan terkikis, sehingga
dapat menyebabkan erosi. Limbah hasil pengolahan tambang juga dapat mencemari
lingkungan. Kegiatan industri tambang yang menggunakan bahan bakar fosil
menghasilkan CO2 yang dapat menimbulkan efek rumah kaca dan pemanasan global.
Untuk mengatasi dampak
negatif tersebut, maka setiap perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial
atau Corporate Social Responsibility (CSR). CSR harus diterapkan dengan prinsip
pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan adalah memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi masa depan. CSR
dapat dilakukan di berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan. Di
bidang sosial, perusahaan dapat memberikan dana beasiswa pendidikan bagi
pelajar, pelatihan bagi karyawan, dan mendirikan perpustakaan. Di bidang
ekonomi, perusahaan dapat membantu usaha-usaha kecil menengah (UKM) dengan
memberikan pinjaman dana untuk mengembangkan usaha mereka. Kemudian, di bidang
lingkungan perusahaan dapat melakukan reklamasi area bekas tambang, menanam
bibit pohon, dan mengolah limbah dengan cara daur ulang. Jadi, tidak hanya
mengambil keuntungan dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada, tetapi
juga harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan menjaga kelestarian
lingkungan hidup.
indonesia telah meraih
kemerdekaannya sejak 64 tahun silam. Namun sejatinya, bangsa ini belum meraih
kebebasan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Selama puluhan
tahun, Indonesia terjebak dalam sistem pertambangan kapitalis dan mengabaikan
amanat konstitusi. Melalui kebijakan-kebijakan yang ada, Indonesia telah lepas
kendali dalam pengelolaan sumberdaya pertambangan yang dimilikinya. Sebenarnya,
negara kita adalah pemilik sumberdaya alam yang sangat kaya. Namun pada saat
mengelolanya negara telah dirugikan oleh korporasi-korporasi swasta dan asing
yang dengan leluasa melakukan eksploitasi. Perusahaan-perusahaan tersebut telah
menguasai, mengeksploitasi dan menguras sumberdaya tersebut dengan target
produksi sebanyak-banyaknya dalam waktu secepat-cepatnya.
Beberapa kebijakan yang
dikeluarkan justru mendukung penguasaan sumberdaya oleh asing. Misalnya UU
No.25 Tahun 2007 tentang penanaman modal serta Peraturan Presiden No.76 dan 77
Tahun 2007, yang seolah member jalan mulus bagi korporasi-korporasi asing untuk
menguasai perekonomian Indonesia, termasuk penguasaan sumberdaya pertambangan.
Selain itu juga, seperti pada kasus penambangan di hutan lindung yang semula
dilarang, seperti tercantum dalam UU No.41 Tahun 1999, namun oleh pemerintah
dibolehkan kembali dengan menerbitkan Perppu No.1 Tahun 2004. Amanat konstitutsi
pasal 33 UUD 1945 menegaskan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat”. Dengan kata lain, pemanfaatan kekayaan alam Negara harus diperuntukkan
dan tidak boleh merugikan rakyat. Termasuk juga didalamnya pengelolaan
sumberdaya minyak dan gas bumi (migas), pertambangan mineral dan batu bara
(minerba) sarta pengelolaan sumberdaya air.
PT Freeport Indonesia
Freeport McMoRan Copper
and Gold pada awalnya merupakan sebuah perusahaan kecil yang berasal dari
Amerika Serikat yang memiliki nama Freeport Sulphur. Freeport McMoRan didirikan
pada tahun 1981 melalui merger antara Freeport Sulphur, yang mendirikan PT
Freeport Indonesia dan McMoRan Oil and Gas Company. Perusahaan minyak ini
didirikan oleh Jim Bob Moffet yang menjadi CEO Feeport McMoRan. Sejak menemukan
deposit emas terbesar dan tembaga terbesar nomor tiga di dunia yang terletak di
Papua Barat, perusahaan ini berubah menjadi penambang emas raksasa skala dunia.
Total asset yang dimiliki oleh Freeport hingga akhir tahun 2005 mencapai 3.3
miliar US dollar.
Aktivitas pertambangan
Freeport di Papua yang dimulai sejak tahun 1967 hingga saat ini talah
berlangsung selama 42 tahun. Selama ini, kegiatan bisnis dan ekonomi Freeport
di Papua, telah mencetak keuntungan finansial yang sangat besar bagi perusahaan
asing tersebut, namun belum memberikan manfaat optimal bagi negara, Papua dan
masyarakat lokal disekitar wilayah pertambangan.
Penandatanganan Kontrak
Karya (KK) I pertambangan antara pemerintah Indonesia dengan Freeport pada
1967, menjadi landasan bagi perusahaan ini mulai melakukan aktivitas
pertambangan. Tak hanya itu, KK I ini juga menjadi dasar penyusunan UU
Pertambangan No.11 Tahun 1967 yang disahkan pada Desember 1967 atau delapan
bulan berselang setelah penandatanganan KK I. Pada Maret 1973, Freeport memulai
pertambangan terbuka di Etsberg, kawasan yang selesai ditambang pada tahun
1980-an dan menyisakan lubang sedalam 360 meter.
Pada tahun 1988,
Freeport mulai mengeruk cadangan raksasa lainnya, Grasberg, yang masih
berlangsung hingga saat ini. Dari eksploitasi kedua wilayah ini, sekitar 7.3
juta ton tembaga dan 724.7 juta ton emas telah dikeruk. Pada Juli 2005, lubang
tambang Grasberg telah mencapai diameter 2.4 kilometer pada daerah seluas 499
hektar dengan kedalaman 800 m2. Aktivitas Freeport yang berlangsung dalam kurun
waktu lama ini telah menimbulkan berbagai masalah, terutama dalam hal
penerimaan negara yang tidak optimal, peran negara/ BUMN dan BUMD untuk ikut
mengelola tambang yang sangat minim dan dampak lingkungan yang sangat
signifikan, berupa rusaknya bentang alam pegunungan Grasberg dan Ertsberg.
Kerusakan lingkungan telah mengubah bentang alam seluas 166 km2 di daerah
aliran sungai Ajkwa.
Kerusakan Lingkungan
Permintaan
akan bahan tambang di pasar dunia di masa mendatang tampaknya akan terus
meningkat. Permintaan tembaga, misalnya, terus naik bersamaan dengan
meningkatnya perekonomian negara-negara di dunia. Hal ini dibarengi dengan
peningkatan sektor industri, terutama industri yang berkaitan dengan sektor
telekomunikasi dan listrik. Freeport sebagai produsen tembaga tentunya sangat
diuntungkan oleh kebutuhan industri ini.
Indonesia
melalui produksi Freeport tercatat sebagai sepuluh produsen tembaga terbesar di
dunia. Produksi tembaga Indonesia menunjukan peningkatan, misalnya dari
928.2000 ton pada tahun 1993 hingga 1, 06 juta ton pada tahun 1994 dan 1,52
juta ton pada tahun 1995. Proyeksi harga komoditas tembaga oleh Bank Dunia
menunjukan kecenderungan untuk terus naik. Sementara itu, negara-negara
produsen lainnya seperti Amerika dan Canada telah mencapai titik maksimum
produksi. Dengan permintaan dunia yang terus meningkat dapat diartikan bahwa ke
depan Freeport memiliki peluang besar untuk memperoleh keuntungan yang
berlipat. Sampai saat ini produksi ketiga jenis barang tambang di Indonesia
didominasi oleh Freeport. Produksi tembaga Freeport meningkat sangat tinggi,
misalnya pada tahun 1991 sebesar 50% dan tahun 1995 sebesar 42%. Hal ini dapat
terpenuhi karena semakin besarnya wilayah eksploitasi yang diberikan
pemerintah. Saat ini produksi tembaga Indonesia 100% dihasilkan oleh PT
Freeport.
Wilayah
penambangan PT Freeport saat ini mencakup wilayah seluas 2,6 juta hektar atau
sama dengan 6,2% dari luas Irian Jaya. Padahal, awal beroperasinya PT FI hanya
mendapatkan wilayah konsesi seluas 10.908 hektar. Secara garis besar, wilayah
penambangan yang luas itu dapat dianggap dieksploitasi pada 2 periode, yaitu
periode Ertsberg (1967-1988) dan periode Grasberg (1988- sekarang). Potensi
bijih logam yang dikelola Freeport awalnya hanya 32 juta ton, sedangkan sampai
tahun 1995 naik menjadi hampir 2 miliar ton atau meningkat lebih dari 58 kali
lipat. Data tahun 2005 mengungkap, potensi Grasberg sekitar 2,822 juta ton
metrik bijih.
Freeport
selalu mengklaim berkomitmen terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang kuat.
Meskipun telah memiliki pengakuan ISO 14001 dan mengklaim memiliki program
komprehensif dalam memantau air asam tambang, Freeport terbukti tidak memiliki
pertanggung jawaban lingkungan. Perusahaan ini beroperasi tanpa transparansi
dan tidak memenuhi peraturan lingkungan yang ada. Terlepas dari keharusan untuk
menyediakan akses publik terhadap informasi terkait lingkungan, Freeport belum
pernah mengumumkan dokumen-dokumen pentingnya, termasuk Studi Penilaian Resiko
Lingkungan (Environmental Risk Assessment). Freeport juga tidak pernah
mengumumkan laporan audit eksternal independen tiga tahunan sejak 1999, seperti
yang disyaratkan Amdal. Dengan demikian perusahaan melanggar persyaratan izin
lingkungan.
Dampak
yang dihasilkan secara kasat mata akibat limbah Freeport tidak kalah
menakjubkan. Produksi tailing yang mencapai 220 ribu ton per hari dalam waktu
10 tahun terakhir menghasilkan kerusakan wilayah produktif berupa hutan,
sungai, dan lahan basah (wetland) seluas 120 ribu hektar, Freeport masih akan
beroperasi hingga tahun 2041. Jika tingkat produksinya tetap, maka akan
mencapai 225.000 hingga 300.000 ton bijih per hari. Selain itu, Freeport juga
tidak mampu mengolah limbahnya baik limbah batuan (Waste Rock), tailing hingga
air asam tambang (Acid Mine Drainage).
Limbah Batuan (Waste Rock)
Hingga
tahun 2005, setidaknya sekitar 2.5 milyar ton limbah batuan Freeport dibuang ke
alam. Hal ini mengakibatkan turunnya daya dukung lingkungan sekitar
pertambangan, terbukti longsor berulang kali terjadi dikawasan tersebut. Bahkan
salah satu anggota Panja DPR RI untuk kasus Freeport menemukan fakta bahwa
kecelakaan longsor akibat limbah batuan terjadi rutin setiap tiga tahunan.
Batuan limbah ini telah menimbun danau Wanagon. Sejumlah danau berwarna merah
muda, merah dan jingga dikawasan hulu telah hilang, padang rumput Cartstenz
juga didominasi oleh gundukan limbah batuan lainnya yang pada tahun 2014 diperkirakan
akan mencapai ketinggian 270 meter dan menutupi daerah seluas 1.35 km2. Erosi
limbah batuantelah mencemari perairan di gunung dan gundukan limbah batuan yang
tidak stabil telah menyebakan sejumlah kecelakaan.
Ada dua hal yang
membuat tailing Freeport sangat berbahaya. Pertama, karena jumlahnya yang
sangat massif dan dibuang begitu saja ke lingkungan. Kedua, kandungan bahan
beracun dan berbahaya yang terdapat dalam tailing. Freeport mengklaim bahwa
tailingnya tidak beracun karena hanya menggunakan proses pemisahan logam emas
dan tembaga secara fisik. Freeport menyebutnya sebagai proses pengapungan
(floatasi), tanpa menggunakan sianida dan merkuri. Hal yang sama juga dipakai
oleh Newmont untuk tambang emasnya di Batu Hijau Sumbawa, NTB. Faktanya, laporan
Freeport menyebutkan mereka menggunakan sejumlah bahan kimia dalam proses
pemisahan logam yang bahkan resiko peracunannya tidak banyak diketahui, bahkan
oleh Freeport sendiri. Disamping itu, didalam tailing Freeport masih terdapat
kandungan tembaga yang masih tinggi dan sangat beracun bagi kehidupan aquatic.
Uji tingkat racun (toxicity) dan potensi peresapan biologis (bioavailability)
oleh Freeport di daerah yang terkena dampak operasi tambang membuktikan bahwa
sebagian besar tembaga terlarut dalam air sungai terserap oleh tubuh makhluk
hidup dan ditemukan kandungannya pada tingkat beracun. Tembaga terlarut pada
kisaran konsentrasi yang ditemukan di sungai Ajkwa bagian bawah mencapai
tingkat racun kronis bagi 30% hingga 75% organism air tawar. Tak hanya
berbahaya karena kandungan logam beratnya, jumlah tailing Freeport yang sangat
masif juga memiliki bahaya yang sama. Hingga tahun 2005 tidak kurang dari 1
milyar ton tailing beracun dibuang Freeport ke sungai Aghawagon-Otomona-Ajkwa.
Padahal cara pembuangan tailing kesungai atau riverine tailing disposal seperti
ini telah dilarang disebagian besar negara di dunia, termasuk Indonesia.
Air Asam Tambang (Acid Mine Drainage)
Batuan tambang Freeport
mengandung logam sulfide (metal sulfides). Dimana ketika digali, dihancurkan
dan terkena udara dan air akan menjadi tidak stabil sehingga menghasilkan
masalah lingkungan serius. Masalah ini dikenal sebagai air asam tambang (Acid
Mine Drainage). Yang berbahaya karena memiliki tingkat keasaman sangat tinggi
(pH rendah). Limbah batuan tambang Grasberg yang terakumulasi berpotensi
membentuk asam. Limbah batuan ini dibuang ke lingkungan sekitar Grasberg dan
menghasilkan AMD dengan tingkat keasaman tinggi hingga rata-rata pH=3.
Kandungan tembaga pada batuan rata-rata 4.500 gram per ton dan eksperimen
menunjukkan bahwa sekitar 80% tembaga ini akan tebuang (leach) dalam beberapa
tahun. Bukti menunjukkan pencemaran AMD dengan tingkat kandungan tembaga
sekitar 800 miligram per liter telah meresap ke air tanah di pegunungan. Resiko
pencemaran AMD juga terjadi di dataran rendah di daerah penumpukan tailing. Hal
ini terjadi karena Freeport menetapkan rasio yang sangat rendah dalam
penetralan asam (kapur) dibanding potensi maksimum keasaman hanya (1.3 : 1),
bahkan lebih rendah dibanding praktek terbaik industri tambang yang ada.
Partikel sulfida yang menghasilkan asam cenderung mengendap terpisah dari
partikel kapur yang lebih ringan yang bertugas menetralisir asam.
Pelanggaran Hukum Lingkungan
Sebagian besar
kehidupan air tawar sepanjang daerah aliran sungai yang dimasuki tailing telah
hancur akibat pencemaran dan perusakan habitat. Freeport telah melanggar PP
No.82 Tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran
air. Dalam pasal 11 disebutkan bahwa pencemaran air adalah memasukkan atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam air
oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ketingkat tertentu
yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Solusi
Tambang Freeport adalah
bukti kesalahan pengurusan pada sektor pertambangan di Indonesia dan bukti
tunduknya hukum dan wewenang negara terhadap korporasi. Pemerintah menganggap
emas hanya sebatas komoditas devisa yang kebetulan berada di tanah Papua. Telah
sekian lama pemerintah menutup mata terhadap daya rusak industry pertambangan
di tanah Papua. Tak hanya sebatas itu, pemerintah juga tidak pernah mampu
mengontrol perusahaan pertambangan agar lebih bertanggung jawab. Itulah sebab
nya pemerintah terus membiarkan Freeport membuang miliyaran limbahnya ke alam.
Meskipun belakangan diketahui bahwa Freeport belum memiliki izin pembuangan
limbah B3. Kementrian Lingkungan Hidup bahkan sudah menemukan sejumlah bukti
pelanggaran ketentuan hukum lingkungan sejak tahun 1997 hingga 2006. Pemerintah
juga tidak berani memaksa Freeport melakukan renegosiasi Kontrak Karya,
meskipun banyak pihak mendukung dan berbagai basis argumentasi telah dimiliki.
Oleh karena itu, ada
beberapa solusi dapat dilakukan oleh pemerintah antara lain : melakukan
evaluasi terhadap seluruh aspek pertambangan Freeport terutama aspek
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, melakukan perubahan Kontrak Karya
Freeport yang lebih menguntungkan bagi negara pada umumnya dan bagi rakyat Papua
pada khususnya, memfasilitasi sebuah konsultasi penuh dengan penduduk asli
Papua terutama yang berada di wilayah operasi Freeport dan pihak berkepentingan
lainnya mengenai masa depan pertambangan tersebut serta memetakan dan mengkaji
sejamlah skenario bagi masa depan Freeport, termasuk kemungkinan penutupan,
kapasitas produksi dan pengolahan limbah.
Konsep pembangunan
berkelanjutan harus dikedepankan oleh pemerintah, dengan memelihara kelestarian
lingkungan. Maka, pemerintah dapat menghentikan secara sepihak kegiatan
korporasi asing yang dapat merusak lingkungan selama melakukan penambangan
sumberdaya alam Indonesia. Perusakan lingkungan oleh asing merupakan utang
lingkungan. Seluruh pajak, royalty dan pembagian keuntungan yang diperoleh
Indonesia melalui korporasi pertambangan asing, niscaya tidak akan dapat
membangun kembali lingkungan yang telah rusak total tersebut. Oleh karena itu,
penanganan kasus ini merupakan agenda mendesak yang harus segera diselesaikan
oleh pemerintah.
http://apitmoti.blogspot.com
Izin copy yaa admin
BalasHapus